Sleman, 17 November 2025 – Kelompok perempuan penyandang disabilitas Avta Kebaya di Bokoharjo, Prambanan, Kab. Sleman, kini mulai menata diri sebagai sebuah brand, bukan hanya kelompok penjahit rumahan. Melalui pendampingan dari tim dosen dan mahasiswa ISI Yogyakarta, mereka belajar menyusun identitas visual, membuat konten promosi, hingga mencari inspirasi tren busana secara mandiri melalui platform digital.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) 2025. Pendampingan berlangsung dalam suasana yang hangat dan interaktif. Para peserta tidak hanya mendengarkan penjelasan, tetapi langsung mencoba membuat logo, merancang unggahan Instagram, hingga mendiskusikan gaya foto produk yang cocok untuk karakter Avta Kebaya.
Dalam salah satu sesi, peserta diminta mengumpulkan contoh warna, tekstur, dan model pakaian dari internet. Mereka sebelumnya merasa tidak terbiasa mencari referensi digital, namun justru menjadi antusias ketika mulai menemukan gaya busana yang sesuai selera mereka. Beberapa di antaranya bahkan mulai memadukan tren warna dengan gaya jahitan khas mereka.
Program ini dilaksanakan oleh tim dosen dan mahasiswa ISI Yogyakarta, dipimpin oleh Amar Leina Chindany, M.Ds. (dosen DKV), dengan anggota tim Amanda Amalia Faustine Gittawati, M.A. (dosen Desain Media), dan Nandang Septian, M.Ds. (dosen Desain Produk), serta didukung mahasiswa pendamping dari berbagai program studi desain; Ayunda Regina A. (DKV), Jihan Khalisa Difa (DKV), dan Aditya Alwin Alwaysa (Desain Produk).
Ketua tim, Chinda, menjelaskan bahwa tujuan utama pendampingan ini adalah membantu peserta melihat usaha mereka dari sudut pandang yang lebih strategis.
“Selama ini mereka fokus pada menjahit dan memenuhi pesanan, tanpa membangun citra kolektif. Melalui pelatihan ini, mereka mulai memahami bagaimana sebuah merek dibentuk, tidak hanya dari produk, tetapi dari cara bercerita dan tampil,” ujarnya.
Anggota tim, Amanda, menambahkan bahwa hasil paling nyata dari kegiatan ini terlihat dari perubahan cara peserta mengekspresikan diri.
“Mereka mulai berani menentukan warna merek, memilih gaya unggahan, bahkan mencoba merekam video proses menjahit. Ada kebanggaan baru ketika mereka menyadari bahwa konten dapat dibuat sendiri tanpa harus memiliki peralatan rumit,” jelasnya.
Keterlibatan mahasiswa juga memberi dinamika tersendiri. Jihan, salah satu mahasiswa pendamping, menyampaikan kesannya setelah berinteraksi langsung dengan peserta.
“Kami datang untuk mengajar, tetapi justru ikut belajar. Cara mereka menyesuaikan pembelajaran dengan kemampuan fisik masing-masing membuat kami sadar bahwa kreativitas tidak selalu muncul dari fasilitas lengkap, tetapi dari kemauan untuk mencoba,” tuturnya.
Kini, Avta Kebaya telah memiliki rancangan pedoman identitas merek, contoh unggahan media sosial, serta daftar tren warna dan model sebagai referensi pengembangan produk. Tidak hanya bertambah pengetahuan, peserta juga mulai melihat diri mereka bukan sekadar penjahit freelance, tetapi pelaku kreatif yang sedang membangun brand milik sendiri.
Pendampingan ini tidak menyelesaikan semua tantangan sekaligus, namun menjadi langkah penting yang memberi mereka alat, wawasan, dan terutama keyakinan untuk bergerak lebih jauh di dunia fashion berbasis komunitas.








